Jumat, 05 Desember 2014

AL-QAWA'ID AL-FIQHIYYAH



AL-QAWA’ID AL-FIQHIYYAH
Oleh: Dr. Zulkarnaini, M. Ag


I

Al-QAWA’ID AL-FIHIYYAH ADALAH BAGIAN DARI USHUL FIQH

Ushul al-Fiqh secara sederhana berarti dasar-dasar fikih. Dasar adalah terjemahan dari kata al-ashl, bentuk tunggal dari kata al-ushul. Salah satu arti kata al-ashl dalam literatur ushul al-fiqh adalah kaidah umum (al-qa’idah al-‘ammah).[1] Secara terminology, salah satu definisi ushul al-fiqh adalah: Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan penelitian yang bisa digunakan untuk menemukan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah dari dalil-dalilnya yang terinci.[2] Dengan demikian, apabila kata ushul dalam istilah ushul al-fiqh diterjemahkan dengan kaidah-kaidah , maka bisa dikatakan bahwa ushul fiqh itu adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk menggali atau menemukan hukum syara’ yang bersifat ‘amaliah dari dalil-dalilnya secara terinci.   

Kaidah-kaidah yang dibicarakan dalam ushul al-Fiqh itu adalah kaidah-kaidah umum yang disebut juga al-qawa’id al-kulliyyah atau al-qawa’id al-‘ammah. Kaidah-kaidah umum itu ada yang berkaitan dengan dalil-dalil yang biasa disebut dengan kaidah ushuliyyah ( al-qawa’id al-ushuliyyah ), karena kedudukan dalil-dalil itu sebagai dasar atau landasan dalam mengistinbatkan hukum syara’. Di samping itu ada pula kaidah-kaidah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,[3] yang biasa disebut dengan kaidah-kaidah fikih (al-qawa’id al-fiqhiyyah)..

Kaidah-kaidah ushul dalam hubungan dengan teks wahyu (nash) ada yang berhubungan dengan urusan lafaz dan bahasa, yang biasa disebut kaidah lafziyah (al-qawa’id al-lafzhiyyah) atau kaidah lughawiyah (al-qawa’id al-ushuliyyah al-lughawiyyah). Di samping itu ada pula yang berhubungan dengan tujuan pensyari’atan hukum yang biasa disebut al-qawa’id al-ushuliyyah al-tasyri’iyyah.[4]

Baik kaidah ushuliyah, maupun kaidah fiqhiyah, kedua-duanya sama-sama bermuara kepada hukum (fiqh). Hanya saja kalau kaidah ushuliyyah bertolak dari dalil, dalam hal ini teks wahyu (nash), sedangkan kaidah fiqhiyah melihat kepada perbuatan manusia mukallaf. Artinya kaidah-kaidah fiqhiyah itu berupa prinsip-prinsip umum berkaitan langsung dengan perbuatan tertentu dengan hukum tertentu pula.

A.    AL-QAWA’ID USHULIYYAH AL-LUGHAWIYYAH

Yang dimaksud dengan kaidah ini adalah kaidah-kaidah hukum yang dipetik dan dibantuk dari bahasa Arab sebagai bahasa nash atau bahasa teks syari’at. Sebagaimana halnya bahasa lainnya, bahasa Arab memiliki kaidah-kaidah tertentu yang perlu diketahui untuk menangkap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pengetahuan tentang kaidah-kaidah tersebut sengat penting untuk memahami pesan-pesan atau hukum-hukum yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi.

Kepentingan kaidah-kaidah tersebut akan lebih terasa lagi, bila dihubungkan dengan cara dan gaya bahasa yng digunakan dalam Al-Qur`an dan Hadis dalam menetapkan hukum. Kadang suatu hukum disebutkan dalam bentuk perintah (al-amr). Pada bagian lain hukum diungkapkan dalam bentuk larangan (al-nahy). Tidak jarang pula perintah dan larangan itu disampai dalam susunan kalimat berita  (jumlah khabariyyah). Cakupan satuan yang dituju oleh teks perintah dan larangan itu kadang-kadang bersifat umum dan di lain tempat bersifat khusus.   
Sebagai contoh kaidah ushuliyah antara lain; kaidah-kaidah amar (amr) dan nahi (nahy), ‘am dank hash, muthlaq dan muqayyad, manhuq dan mafhum.
Kaidah amar, misalnya;
 الأصل فى الأمر للوجوب.  -  الأمر بعد النهي يفيد الاباحة  - الأمر بشيء أمر بوسائله .
Kaidah-kaidah nahi antara lain dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut;        النهي للتحريم  الأصل فى -الأصل فى النهي يقتضى الفور  -الأصل فى النهي يقتضى التكرار.

Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ‘am dan khash misalnya:
حذف المعمول يفيد العموم _ ذكر بعض أفراد العام بحكمه لا يخصصه – العام بعد التخصيص حجة فى الباقى

Kaidah-kaidah yang barhubungan dengan muthlaq dan muqayyad, misalnya:
المطلق يحمل على المقيد اذا اتفقا فى السبب والحكم- المطلق يحمل على المقيد و ان اختلف فى السبب –
المطلق لا يحمل على المقيد اذا اختلف فى الحكم- المطلق لا يحمل على المقيد ان اختلفا فى السبب والحكم


B.   AL-QAWA’ID AL-FIQHIYYAH

Kaidah Fiqhiyah adalah kaidah hukum yang bersifat umum yang meliputi seluruh cabang masalah-masalah fikih yang menjadi pedoman untuk menetapkan hukum setiap peristiwa fikih atau kasus hukum, baik yang ditunjuk oleh nash yang sharih, maupun yang tidak ditemukan nashnya sama sekali.
Kaidah-kaidah fiqhiyah berisikan prinsip-prinsip umum yang bisa menampung berbagai ketentuan yang sifatnya terinci. Artinya, suatu kaidah umum (kulli) bisa mencakup sekian banyak kaidah-kaidah tertentu (juz`i) yang lebih terinci. Kaidah-kaidah itu dibangun berdasarkan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam sejumlah nash, baik ayat-ayat Al-Qur`an maupun hadis Nabi.
Pengelompokan kaidah-kaidah juz`i  yang jumlahnya banyak kedalam kaidah induk itu dengan memperhatikan dan membandingkan kemiripan di antara masing-masing kaidah tersebut.

Kitab-kitab yang memuat kumpulan kaidah tersebut, sesuai dengan cara penggabungan atau pengelompokannya antara lain diberi judul al-Asybah wa al-Nazha`ir yang berarti: beberap kaidah yang serupa dan sebanding.  Misalnya, dua orang ulama dari mazhab yang berbeda menyusun kitab tentang kaidah-kaidah ini dengan judul serupa. Yang pertama Jalal al-Din al-Suyuthi al-Syafi’i, sedangkan yang kedua, Zain al-Din ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Bakr yang lebih popular dengan sebutan Ibnu Nujaim.

Kaidah-kaidah yang banyak itu menurut ulama ushul bila dikelompok- kan akan tergabung di dalam dua kaidah saja, yaitu:
درء المفاسد و جلب المصالح  (Dar` al-Mafasid dan Jalb al-Mashalih ) yang berarti: Menolak kerusakan dan menarik kemashlahatan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam berdasarkan pemikiran bahwa syri’at Islam ini seluruhnya mengandung maslahat, adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan adakalanya dengan menarik kemaslahatan.[5]

Selanjutnya dua kaidah ini besar ini dipecah oleh ulama ushul (Syafi’yyah) secara lebih terarah menjadi lima kaidah umum yang juga dipandang sebagai kaidah induk yaitu:[6]

1.      الأمور بمقاصدها (Segala urusan tergantungkepada tujuannya)[7]
2.      اليقين لا يزال بالشك  Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan)[8]
3.       المشقة تجلب التيسير (Kesukaran dapat menarik kemudahan)[9]
4.      الضرر يزال   (Kemudharatan itu mesti dilenyapkan)[10]
5.       العادة محكمة  ( Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum )[11]


II
KANDUNGAN MASING-MASING KAIDAH

A.    الأمور بمقاصدها
Kaidah ini meliputi semua ketentuan yang bersangkut paut maksud atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melakukan amal tertentu. Maksud ini dalam bahasa fikih dikenal dengan niyat. Kaidah-kaidah tentang niyat sangat penting, karena niyat menempati posisi yang sangat menentukan status, macam dan nilai amal ibadah seseorang. Salah dalam berniyat bisa saja berakibat fatal dalam amal ibadah seseorang.

Yang dimaksud status dalam amal seseorang adalah, apakah perbuatan yang ia lakukan dalam rangka ketaatan kepda Allah atau semata-mata urusan kepentingan atau keinginan alamiyah manusia. Seseorang mandi pada waktu tertentu, bisa termasuk mandi ibadah, misalnya mandi menjelang Jum’atan, bisa juga mandi sekedar kebutuhan mengatasi gerah karena suhu panas. Dua orang yang sama-sama duduk di mesjid belum tentu nilainya sama, tergantung kepada niyatnya. Yang seorang duduk i’tikaf, yang lain sekedar melepas lelah, tergantung kepada niyat masing-masing. Dua orang yang sama-sama menghindari makan, minum dan hubungan suami-isteri sejak terbit fajar, bisa saja yang seorang puasa dan yang lain diet, tergantung kepda niat mereka.

Yang dimaksud dengan macam dalam amal ibadah seseorang adalah perbedaan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya yang sama bentuknya. Misalnya, seseorang melakukan puasa di luar bulan Ramadhan. Puasa tersebut mungkin saja puasa qadha, mungkin juga puasa kifarat, boleh jadi puasa nazar dan tidak tertutup kemungkinan puasanya itu puasa sunat tertentu. macam-macam ibadah tersebut tergantung kepada niyat yang melakukannya. Bagitu pula halnya dengan shalat. Seseorang shalat sendirian di rumahnya di waktu subuh dua raka’at. Apakah shalatnya itu shalat subuh atau sunat qabliyah subuh, tergantung kepada niyat yang bersangkutan.

Kesalahan dalam berniyat yang berakibat fatal misalnya, seseorang shalat zuhur, tetapi niyatnya shalat ‘Ashar, maka tidaklah gugur kewajibannya untuk shalat zuhur. Begitu juga kifarat zihar dengan niyat kifarat pembunuhan. Dalam hal ini berlaku kaidah: ما يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل.   Artinya: Sesuatu yang disyaratkan untuk dinyatakan (macam-macam amal ibadah) maka salah dalam hal ini membuat amal menjadi batal.

Kesalahan niyat yang tidak mengakibatkan batal, misalnya salah dalam penentuan hari dan lokasi shalat dan puasa. Kesalahan dalam hal ini tidak berakibat batalnya ibadah tersebut. Misalnya seseorang shalat tahiyyatul masjid Khaif, ternyata mesjid itu adalah mesjid Namirah. Begitu juga seseorang berniat shalat Dhuha hari Kamis, ternyata hari itu hari Rabu. Kesalahan dalam kasus ini tidak menyebabkan batal ibadahnya, karena penentuan waktu dan tempat itu tidak disyaratkan dalam berniyat dan tidak menyangkut substansi ibadah. Untuk kasus ini kaidah yang digunakan adalah: ما لا يشترط فيه  التعرض له جملة ولا تفصيلا, اذا عينه وأخطأ لم يضر.    . Sesuatu yang tidak disyaratkan untuk mengungkapkannya secara global ataupun terinci, maka kesalah yang terjadi dalam hal ini tidak merusak ibadah. 

B.     اليقين لا يزال بالشك
Kaidah ini  meliputi semua ketentuan yang berhubungan dengan masalah keragu-raguan dalam menetapkan sesuatu. Termasuk dalam hal ini ragu dalam menetapkan jumlah sesuatu, seperti jumlah raka’at shalat yang sudah dikerjakan, status suci atau tidaknya seseorang. Syari’at menyuruh berpegang kepada yang yakin atau pasti. Bila seseorang ragu apakah jumlah rakaat shalat atau bilangan thawaf yang sudah dilakukannya tiga atau empat, maka dianggap saja tiga, karena jumlah terkecil itu yang diyakini, sedangkan yang keempat statusnya ragu-ragu.

Selanjutnya  bila seseorang ragu-ragu apakah ia masih dalam keadaan suci dari hadas atau telah batal wudhuknya, dikembalikan saja ke keadaan awal. Kalau keadaan awalnya dia yakin telah berwudhuk, setelah berlalu beberapa saat, tibul keragu-raguan apakah wudhuknya telah batal, pada hal bukti tidak ada, maka dia dihukum suci. Seabaliknya, bila setelah buang air, seseorang ragu apakah ia telah berwudhuk atau belum, maka dengan kaidah ini dia dihukum tidak suci alias berhadas. Kaidah yang lebih rinci sebagai turunan tersebut adalah الأصل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره .  Artinya: Pada dasarnya sesuatu yang sudah ada tetap sebagaimana adanya, sampai ada bukti yang menunjukkan terjadinya perubahan.

Pada kasus lain, seseorang yang meragukan kehalalan atau kebolehan memanfaatkan sesuatu yang dipandang bermanfaat, selama tidak ditemukan dalil yang melarangnya, berarti hukumnya boleh atau halal (الأصل فى اللأشياء الاباحة .). Artinya: Asal hukum segala sesuatu adalah boleh.[12] Akan tetapi bila yang diragukan itu tentang kehalalan menikmati lawan jenis, maka sebelum ada bukti yang terang tentang kehalalannya, seperti aqad nikah yang sah, maka hukumnya adalah haram. Kaidah khusus yang mengatur hal ini adalah: الأصل فى الأبضاع الحرام.   Maksudnya: Hukum asal kemaluan (orang lain) adalah haram.[13]

Kaidah ini juga menjangkau persoalan pertentangan klaim antara penjual dan pembeli, antara penyewa dan yang menyewakan sesuatu, antara yang mengupah dan yang menerima upah, antara yang yang meminjam dengan yang meminjamkan, antara tuan (majikan) dan anak buah dan antara antara suami dan isteri. Kaidah khusus yang digunakan dalam kasus ini adalah: الأصل العدم.  Artinya: Menurut asalnya sesuatu tidak ada. Kaidah lainnya yang senada adalah: الأصل براءة الذمة.   Artinya: Hukum asal seseorang bebas dari tanggungan.

Contoh kasus yang mungkin terjadi, misalnya bila terjadi pertentangan pengakuan tentang status barang antara antara yang mengatakan cacad dengan tidak cacad, maka hukum asalnya tidak cacad. Dalam hal beruntung atau tidak, maka hukum asalnya tidak beruntung. Dalam masalah klaim hutang, jika seseorang dituduh berhutang atau melakukan tindakan kejahatan tanpa ada bukti, sedangkan yang dituduh tidak mengakui, maka yang diterima adalah pernyataan yang dituduh bahwa ia tidak berhutang dan tidak bersalah. Dalam masalah perawan atau tidak, maka hukum asalnya adalah perawan. Dalam masalah tamkin atau penyerahan diri sepenuhnya atau belum, maka hokum asalnya adalah belum.

Seandainya keragu-raguan itu menyangkut ada atau tidaknya ketentuan atau kewajiban syari’at, maka selama tidak ada dalil, maka hukumnya tidak wajib.

C.      المشقة تجلب التيسير
Kaidah mencakup semua ketentuan yang mengatur bagaimana seseorang menjalankan syari’at di saat mengalami kesulitan. Dalam keadaan sulit, tidak semua ketentuan syari’at bisa dilaksanakan. Sebagai contoh, segala yang terkait dengan syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah dan akad tertentu, dalam situasi normal semua syarat dan rukun mesti dipenuhi, sedangkan dalam kondisi sulit, jumlah syarat dan rukun bisa ditolerir dengan rukhshah atau takhfif. Dari kaidah ini muncul kaidah senada yaitu:
الأشياء اذا ضاقت اتسعت – الأشياء اذا اتسعت ضاقت.
Segala sesuatu urusan (syari’at) apa bila mengalami kesempitan aturan pelaksaannya menjadi lapang, sebaliknya apabila keadaan sudah lapang, atura itu akan menjadi sempit.


D.    الضرر يزال
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa dalam syari’at Islam segala macam bahaya mesti disingkirkan atau dihindari. Kalau perlu, untuk menyelamatkan diri dari bahaya, dibolehkan melakukan sesuatu yang dalam keadaan normal terlarang (الضرورة تبيح المحظورات  ). Artinya: Keadaan bahaya itu membolehkan yang terlarang. Agar kebolehan itu tidak disalah gunakan untuk kepentingan selera nafsu, maka kaidah selanjutnya membatasi kebolehan itu sekedar untuk menghindari bahaya. Kalau bahaya itu sudah tak ada lagi, kembalilah hukum yang terlarang itu seperti semula. Kaidah yang mengatur kasus ini adalah sebagai berikut: ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها Artinya: Sesgala sesuatu yang dibolehkan karena alas an darurat (bahaya) diukur sebatas ukuran bahaya itu.

Sebaliknya berbagai perintah ibadah yang mengandung sejumlah unsur rukun dan syarat, dengan alasan menghindari bahaya, sejumlah  unsur-unsur yang diwajibkan tersebut bisa ditinggalkan. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal pelaksanaan shalat ketika terancam bahaya.

Ke dalam kaidah ini dimasukkan semua ketentuan yang mengatur bagaimana seseorang menjalankan agama di saat pelaksanaan tersebut ternyata yang bersangkutan terancam bahaya. Termasuk dalam hal ini bagaimana harus bertindak ketika seseorang pada waktu yang sama dihadapkan kepada pilihan yang serba bahaya. Begitu juga bila dalam suatu perbuatan terdapat bahaya dan keuntungn sekaligus.

E.     العادة محكمة
Kaidah ini mengandung pengertian bahwa dalam masalah tata cara pergaulan dalam masyarakat yang tidak diatur secara rinci oleh syari’at, maka yang diberlakukan sebagai hukum adalah adat, yaitu sesuatu yang dipandang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat pada wilayah tertentu. Termasuk dalam masalah ini; jenis mata uang yang dipakai dalam transaksi, istilah yang digunakan untuk barang tertentu, gerakan yang biasa  dilakukan dengan makna dan tujuan tertentu, jumlah yang ditetapkan sebagai ukuran nilai tertentu. Kaidah khusus yang digunakan untuk kasus ini adalah: ما ورد به الشرع مطلفا ولا ضابط له فيه ولا فى اللغة, يرجع فيه الى العرف.    Artinya: Segala ketentuan yang bersumber dari syara’ tanpa disertai dengan rincian cara pelaksanaannya dan tidak pula ada penjelasan secara bahasa, maka cara pelaksanaannya dikembalikan kepada kebiasaan masyarakat.

Contoh konkrit dalam hal ini antara lain adalah dalam masalah sewa menyewa. Dalam Islam disyari’atkan sewa menyewa dan upah mengupah, akan tetapi berapa kadar sewa untuk barang tertentu atau imbalan jasa tertentu, tidak diatur secara rinci oleh agama. Misalnya, berapa sewa hotel, sewa gedung, ongkos kendaran, honor atau upah kerja tertentu, agama menyerahkannya kepada kebiasaan yang berlaku.
Demikian pula halnya dalam Islam disyari’atkan jual beli dan dalam jual beli itu disyaratkan adanya ridha masing-masing pihak yang terlibat dalam jual beli tersebut. Akan tetapi apa bahasa yang digunakan dan bagaimana cara mengungkapkan kehendak masing-masing serta apa tindakan yang dilakukan sebagai tanda suka sama suka kedua belah pihak, diserahkan kepada adat yang biasa berlaku.

Begitu pula halnya dalam syari’at Islam ada ketentuan membayar harga barang orang yang diambil, ada pula yang diambil secara gratis. Untuk membedakan mana makanan yang disuguhkan kepada seseorang yang gratis dan mana pula yang mesti dibayar sesuai harga yang berlaku, berpedoman kepada kebiasaan yang berlaku.
Dalam
        


III

DAFTAR KEPUSAKAAN

[1] ‘Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996, cet. V, hlm. 8
2‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 1956, cet. VII, hlm.12
3‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kairo: Mathba’ah al-Istiqamah, t.t.), juz 1, hlm. 9  
4 Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiiqh Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1986, cet.I, hlm. 486-487



[1] ‘Abd al-Karim Zaidan, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1996, cet. V, hlm. 8
[2] Teks aslinya adalah: العلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الى استفادة الأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية Lihat,‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyyah Syabab al-Azhar, 1956, cet. VII, hlm.12
[3] Mukallaf berarti orang yang telah memenuhi syarat untuk dibebani hukum  syara’ dalam arti kalau hokum syara’ ia patuhi, ia pantas dapat pahala, sebaliknya kalau hokum itu ia langgar ia berdosa.
[4] ‘Abd al-Wahhab Khallaf, op. ct., hlm. 197
[5]‘Izz al-Din ibn ‘Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Kairo: Mathba’ah al-Istiqamah, t.t.), juz 1, hlm. 9   
[6] Mukhtar Yahya & Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiiqh Islam, Bandung: PT. Alma’arif, 1986, cet.I, hlm. 486-487
[7] Kaidah ini dirumuskan berdasarkan prinsip yang terkandung dalam hadis:
انما الأعمال بالنيات … رواه البخاري ومسلم عك عمربن الخطاب
[8] Kaidah ini dibangun berdasarkan antara lain prinsip yang terkandung dalam hadis berikut:
اذا شك أحدكم فى صلاته فلم يدر أصلى ثلاثا أم أربعا فليطرح الشك وليبن على ما استيقن…. رواه مسلم عن أبي سعيد الخدري.
[9] Kaidah ini bertolak dari prinsip yang terkandung dalam sejumlah nash, antara lain surat al-Baqarah ayat 185:  يريد الله بكم العسر ولا يريد بكم العسر….
[10] Kaidah ini dibangun berdasarkan prinsip yang terkandung dalam nash, antara lain, hadis:
لا ضرر ولا ضرار. رواه مالك عن عمر بن يحيى المازني, و ابن ماجه عن عباده بن صامت وابن عباس.
[11] Kaidah ini dirumuskan berdasarkan prinsip yang terkandung dalam nash, antara lain surat al-A’raf ayat 199: خذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين.
[12] Kaidah ini antara lain merujuk kepada ayat 29 surat al-Baqarah yang menyatakan bahwa Allah lah yang menciptakan segala yang terdapat di bumi ini untuk kamu (manusia)
[13] Kaidah ini berpedoman antara lain kepada Al-Qur`an surat al-Mukminun ayat 5 dan 6 yang menyatakan bahwa nafsu seks itu hanya boleh disalurkan kepada isteri atau budak milk al-yamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar