PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SALAT TARAWIH
Oleh : Dr.Zulkarnaini, M. Ag
بسم الله الرحمن الرحيم
I.
PENDAHULUAN
Meskipun perberdaan pendapat sekitar pelaksanaan salat
tarawih sudah muncul sejak berabad-abad yang silam, namun sampai sekarang hal
itu masih menjadi permasalahan di kalangan umat Islam, terutama masyarakat
awam. Permasalahan tersebut tidak jarang membawa kepada suasana kurang
harmonisnya hubungan di antara sesama umat Islam itu sendiri. Suasana yang
tidak menguntungkan tersebut timbul di saat masing-masing pihak yang berbeda
pendapat menklaim bahwa hanya pendapat merekalah yang benar, sementara yang
lain salah. Kalau satu pihak sudah memandang salah pihak yang lain, apalagi
kalau pandangan itu sudah dinyatakan atau diungkapkan kepada mereka yang dipandang
salah, tentu saja hal ini akan mengundang perselisihan, bahkan mungkin
permusuhan. Yang sangat mengherankan adalah apabila masalah yang
diperselisihkan itu hanyalah masalah-masalah yang bukan prinsipil, misalnya
menyangkut ibadah-ibadah sunat, seperti pelaksanaan salat tarawih.
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut penulis ingin
mengemukakan sebuah tulisan sebagai bahan diskusi sekitar silang pendapat
mengenai pelaksanaan salat tarawih. Untuk tidak mengambangnya pembahasan ini,
permasalahan di batasi sekitar jumlah rakaat tarawih dan jumlah rakaat dalam
satu salam. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana
perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat salat tarawih dan jumlah rakaat dalam
satu salam serta dalilnya masing-masing. Sehubungan dengan berbagai
keterbatasan dalam penulisan makalah ini, tentu saja di sana-sini akan
ditemukan sisi-sisi kelemahan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, untuk
memperluas wawasan, saran, masukan dan kritik sehat dari para pembaca sangat penulis
harapkan
II. JUMLAH RAKAAT SALAT
TARAWIH
A.
Perbedaan Pendapat dan Alasan Masing-Masing
Dalam literatur fikih terdapat sejumlah pendapat para fuqahaٓ tentang jumlah rakaat salat
tarawih. Paling tidak ada lima pendapat dalam hal ini, yaitu: 11 rakaat bersama
witir, 21 rakaat bersama witir, 23 rakaat bersama witir, 39 rakaat bersama
witir, 41 rakaat bersama witir.
Pendapat pertama, 11 rakaat. Pendapat ini banyak diamalkan
orang di Indonesia, paling tidak
pada tiga dekade terakhir ini. Dalam kitab Muwattaٓ , Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad ibn Yusuf dari
al-Saib ibn Yazid, bahwa Umar ibn al-Khatab memerintahkan Ubay ibn Ka’ab dan
Tamim al-Dar΄i agar mereka salat (tarawih) bersama orang banyak sebelas rakaat.
Kata al-Saib ibn Yazid: “Imam (al-Qari) membaca surat-surat panjang yang
ayatnya ratusan (al-Mi’in), sehingga kami berpegang kepada tongkat,
karena lamanya berdiri dan kami belum berhenti sebelum terbit fajar”.[1]
Dalam syarah Muwatta’ dikatakan bahwa menurut al-Baji,
keputusan yang diambil ‘Umar tersebut karena mengikuti salat Nabi. Lalu
disebutkan hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ketika ditanya orang (Abu
Salamah, pen.) tentang salat Nabi pada bulan Rhamadan. Kata ‘Aisyah:
ما كان يزيد في
رمضان ولا في غيرها عن احدى عشرة ركعة….
Nabi tidak pernah melebihi, baik pada bulan Ramadhan
maupun bulan lainnya, dari sebelas rakaat...[2]
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari
‘Aisyah RA. Dalam kitab Sahih al-Bukhari, hadis ini dicantumkan dalan Kitab
Salat al-Tarawih,[3]
sementara dalam kitab Sahih Muslim ditempatkan dalam Bab Salat al-Lail wa’Adad
Raka’atiha.[4] Demikian
juga dalam kitab-kitab hadis lainnya, misalnya dalam kitab Nail al-Autar
dicantumkan pada Bab Salat Tarawih,[5]
dan dalam kitab Subul al-Salam hadis ini dimuat di bawah judul “Waqt al-Witr
min al-Lail Kullih”.[6]
Menurut riwayat Muslim, sahabat Nabi ‘Abdullah ibn ‘Abbas
juga pernah mengikuti salat malam Nabi, yaitu ketika ia bermalam di rumah
bibinya Maimunah, istri Nabi. Kata Ibn ‘Abbas, Nabi salat malam sebelas rakaat.[7]
Pendapat kedua, yaitu 21 rakaat. Menurut al-ASyaukani,
pendapat ini diriwayatkan oleh Muhammad ibn Nasr dari Muhammad ibn Yusuf.[8]
Tidak dijelaskan siapa sahabat yang meriwayatkannya dan ulama-ulama yang
mengamalkannnya.
Pendapat ketiga, yaitu 23 rakaat. Pendapat ini hampir
sama dengan yang sebelumnya, karena yang berbeda hanya pelaksanaan witirnya.
Pendapat yang mengatakan salat tarawih 20 takaat dianut oleh Abu Hanifah, Malik
dalam salah satu qaulnya, al-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal dan Daud al-Zahiri.[9]
Pendapat ini antara lain berdasarkan riwayat berikut:
عن يزيد بن رومان
قال : كان الناس في زمن عمر بن الخطاب يقومون في رمضان بثلاث و عشرين ركعة
Dari Yazid ibn Ruman ia berkata: “ pada zaman ‘Umar ibn al-Khatab
orang melakukan salat di bulan ramadhan dua puluh tiga rakaat”.
Keterangan (asar) ini antara lain diriwayatkan
oleh Malik dalam kitab Muttawa’nya.[10]
Di samping itu menurut al-San’ani ada lagi riwayat lain oleh al-Baihaqi dari
Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa ‘Umar menyuruh Ubay dan Tamim untuk salat
bersama orang banyak dua puluh rakaat dan pada riwayat lain dua puluh tiga
rakaat dan witir tiga rakaat.[11]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa salat tarawih
23 rakaat bersama witir tersebut adalah perbuatan sahabat di zaman ‘Umar RA.
Menurut al-San’ani tidak ada hasis yang marfu’ (langsung dari Nabi atau
perbuatan Nabi) yang menjadi dasar pendapat ini (20 rakaat) kecuali riwayat ‘Abd
ibn Humaid dan Al-Tabrani dari jalur Abu Syaibah Ibrahim ibn ‘Usman dari
al-Hakam dari Muqsim dari ibn ‘Abbas yang berbunyi :
ان رسول الله صلى
الله عليه وسلم كان يصلى في رمضان عشرين ركعة و الوتر
Bahwasanya Rasulullah Saw. Pernah salat di bulan Ramadhan
20 rakaat dan witir.
Akan tetapi menurut al-San’ani dalam sanad nya terdapat
kelemahan, yaitu Abu Syaibah. Mengutib kitab Subul al-Rasyad ia mengatakan
bahwa Abu Syaibah ini dilemahkan oleh Ahmad, ibn Ma’in, al-Bukhari, Muslim, Abu
Daud, al-Turmizi, al-Nasai dan lain-lain.[12]
Meskipun demikian, riwayat yang menyatakan bahwa di zaman ‘Umar salat 20 ini diamalkan
orang banyak dan tidak ada yang membantahnya. Tradisi ini betrlanjut terus,
sehingga diterima dan diamalkan pula oleh imam-imam mazhab besar.
Pendapat keempat, yaitu 39 rakaat. Pendapat ini dianut
oleh Malik dalam salah satu Qaulnya. Menurut riwayat ibn al-Qasim Malik
memandang baik salat tarawih 36 rakaat dan witir 3 rakaat.[13]
Dalam riwayat lain dijumpai pernyataan Malik sebagai berikut: “yang kami
amalkan adalah 39 rakaat sementara di Mekkah 23 rakaat (ayat).(الا ْمر عندنا بتسع و ثلاثين و بمكة بثلاث وعشرين)
Pendapat ini berdasarkan kepada amal ahli Madinah.
Muhammad ibn Nasir meriwayatkan dari jalur Daud ibn Qais yang mengatakan : “Aku
jumpai orang-orang pada masa pemerintahan Aban ibn Qais dan ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Azis, yakni di Madinah, mereka shalat tarawih 36 rakaat dan salat witir 3
rakaat.[14]
Sebagaimana diketahui bahwa dasar fiqih Imam Malik setelah al-Qur΄an dan sunnah
adalah amal ahli Madinah. Apabila tidak ditemukan ketegasan dalam al-Quran dan
sunnah Malik cenderung mengikuti amal ahli Madinah, malah ia lebih
mendahulukannya dari khabar al-Wahid (hadis Ahad). Alasannya antara lain adalah karena Madinah itu tempat hijrah Nabi,
di sana
umumnya ayat-ayat hukum turun, disana pula para sahabat berdomisili.
Penduduknya lebih mengetahui tentang turunnya wahyu serta penjelasan yang
diberikan Nabi. Ini merupakan keistimewaan penduduk Madinah dari yang lain.
Oleh sebab itu menurutnya amal mereka bisa dijadikan hujah.[15]
Pendapat kelima, yaitu 41 rakaat. Kelihatanya jumlah di atas 40 rakaat ini menurut riwayat yang ada cukup bervariasi. Ada
yang mengatakan sampai 46 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Ibn ‘Abd al-Barr meriwayatkan
dari al-Aswat ibn Yazid bahwa jumlahnya 40 rakaat ditambah 7 rakaat witir.
Pendapat ini juga dinisbahkan kepada Malik. Dalam riwayat ini malik menyatakan
bahwa ia menemukan pendapat ini diamalkan orang sejak lebih seratus tahun.[16]
Kalau pernyataan ini benar, berarti sejak dari masa sahabat pendapat ini sedah
diamalkan orang. Hal ini karena Imam Malik ibn Anas hidup antara tahun 93H
sampai tahun 179H. Jadi jarak antara generasi sahabat dengan kehidupan Imam
Malik adalah sekitar 100 tahun. Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat terakhir ini didasarkan
kepada amal generasi sebelumnya yang masih lekat dengan masa Nabi. Bila
pendapat ini dinisbahkan kepada Malik berarti pendapat ini diamalkan oleh ahli Madinah.
B.
Analisa dan Kesimpulan
Alasan atau dalil yang mendasari masing-masing pendapat
diatas dapat dibagi kedalam tiga kelompok. Pertama, yang merujuk langsung
kepada sunnah Nabi, yaitu pendapat yang menyatakan salat tarawih itu sebelas
rakaat bersama witir. Kedua, yang beralasan dengan amal sahabat, yaitu pendapat
yang menyatakan bahwa salat tarawih itu 21 rakaat dan yang menyatakan 23 rakaat
bersama witir. Ketiga, pendapat yang berpedoman kepada amal ahli Madinah, yaitu
pendapat yang menyatakan bahwa salat tarawih dan witir itu berjumlah 39 rakaat, 41 rakaat atau lebih.
Masing-masing alasan tersebut akan dianalisa satu persatu:
1.
Alasan kelompok pertama
Pendapat ini mempunyai landasan yang kuat dipandang dari
beberapa segi : pertama, alasannya langsung merujuk kepada sunnah Nabi. Artinya pendapat ini bisa dipertanggung
jawabkan, karena memang ada contoh dari Nabi dan secara jelas dinyatakan
menyangkut salat malam di bulan Ramadhan. Mengikuti contoh yang dilakukan Nabi merupakan bukti cinta yang benar
kepada Allah sebagaimana yang dituntun dalam al-Quran surat Ali-Imran ayat 31.
Kedua, menurut ilmu hadis riwayat yang digunakan kelompok ini lebih kuat dari
kelompok lain, karena diriwayatkan oleh perawi hadis yang sudah disepakati
kesahihannya, yaitu al-Bukhari dan Muslim.
Yang menjadi permasalahan dalam alasan ini antara lain
adalah:
Pertama, apakah pernyataan ‘Aisyah dan Ibn ‘Abbas tentang
jumlah shalat malam Nabi tersebut bersifat mutlak atau hanya yang sempat
diketahui atau disaksikannya saja. Mungkinkah pernyataan itu berarti bahwa
sepengatuhuan atau sepanjang yang dilihat oleh kedua sahabat Nabi ini salat
malam Nabi baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lain tidak lebih dari 11
rakaat ? timbulnya pertanyaan ini, karena menurut beberapa riwayat, ternyata
‘Aisyah sendiri tidak selalu mengikuti shalat malam Nabi, meskipun Nabi
bermalam di rumah (kamar) ‘Aisyah sendiri sementara ‘Aisyah sendiri tidak
berhalangan untuk salat. ‘Aisyah sendiri dalam beberapa riwayat oleh Muslim
menyatakan bahwa Rasulullah Saw salat malam (di kamarnya). Apabila beliau
hendak mengerjakan shalat witir barulah ‘Aisyah dibangunkan.
عن عائشة قالت : كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل, فاذا اوتر قال : قومي فاْ وتري يا
عائشة !
Dari ‘Aisyah RA. ia berkata: “Pernah Rasulullah Saw.
Shalat malam (di rumahnya). Maka apabila ia hendak mengerjakan witir ia berkata
: “bangunlah untuk shalat witir wahai ‘Aisyah”.[17]
Dalam riwayat lain ‘Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. salat malam, sedangkan ia berbaring berbelintang di hadapan rasul. Apabila
yang belum dikerjakan tinggal witir saja barulah, ‘Aisyah dibangunkan.[18]
Kedua, kalau memang Nabi tidak pernah melebihi salat
malamnya dari sebelas rakaat, kenapa imam-imam mazhab besar yang diantaranya
juga ahli hadis tidak mengamalkannya? Apakah hadis pernyataan ‘Aisyah dan ibn
‘Abbas tersebut luput dari pengetahuan para imam mazhab?
2.
Alasan kelompok kedua
Pendapat ini berdasarkan kepada amal sahabat, yaitu
dimasa Umar RA. apabila memang amal tersebut dilakukan oleh para sahabat,[19]
maka kekuatan pendapat ini dapat dilihat dari beberapa segi.
Pertama amal sahabat tersebut mempunyai dasar syariat yang bisa
meraka pertanggung jawabkan. Apabila keadilan para sahabat itu diakui, maka
sulit diterima kemungkinan mereka bersepakat untuk berbuat yang tidak
dibenarkan oleh syari’at. Dengan asumsi demukian paling tidak ada dua
kemungkinan sebagai dasar dari apa yang mereka lakukan. Kemungkinan pertama
amal itu berdasarkan contoh dari Nabi. Artinya kemungkinan pernah sahabat
melihat Nabi melakukan amal tersebut, sementara Nabi sendiri tidak menetapkan
batas jumlahnya secara rutin untuk setiap malam. Kemungkinan kedua, para
sahabat yang melakukannya melihat ada peluang untuk memilih jumlah rakaat
tersebut, karena tidak adanya batasan yang ditetapkan lewat sabda Nabi. Yang
ada hanya batasan yang dilihati oleh sahabat tertentu antara lain ‘Aisyah dan
ibn ‘Abbas RA.
Kedua adanya sejumlah hadis yang berisi suruhan untuk
mengikuti sunnah para sahabat Nabi. Misalnya hadis riwayat al-Turmizi berikut:
اقتدوا بالذين من
بعدي اْبى بكر و عمر
Ikutilah dua orang yang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan
‘Umar[20]
Demikian juga misalnya, hadis yang diriwayatkan Ahmad,
ibn Majah, al-Turmizi, al-Hakim sebagai berikut:
عليكم بسنتي و سنة
الخلفاء الراشدين بعدي تمسكوا بها و عضوا عليها بالنواجذ
Ikutilah sunnah ku dan sunnah al-khulafa’ al-Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah padanya
dan tetaplah menjalankannya![21]
Adalagi hadis yang menyuruh mengikuti sahabat Nabi secara
umum sebagai berikut:
اصحابي كالنجوم
باْيهم اقتديتم اهتديتم
Para sahabatku laksana bintang-bintang yang mana saja
kamu ikuti niscaya kamu dapat petunjuk.[22]
Ketiga, pendapat ini dianut oleh mayoritas imam-imam
mazhab besar. Sebahagian diantara imam-imam mazhab tersebut adalah juga ahli
hadis.
Yang menjadi permasalahan dalam pendapat kedua ini antara
lain adalah : pertama, tidak ditemukannya dalil yang kuat yang langsung disandarkan
kepada Nabi, padahal diantara imam-imam mazhab yang mengamalkan pendapat ini
termasuk perawi hadis. Kedua, riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat di
zaman Umar melakukan hal itu tidak diriwayatkan oleh para perawi yang terkenal,
seperti al-Bukhari dan Muslim. Kalau memang sebahagian besar sahabat
melakukannya, kenapa tidak populer dalam kitab-kitab hadis sahih?
3.
Alasan kelompok ketiga
Pendapat ini berpedoman kepada amal ahli Madinah.
Kekuatan pendapat ini terletak pada beberapa hal: Pertama,daerah ini merupaka
tempat tinggal Nabi setelah hijrah. Disana pada umumnya ayat-ayat hukum
diturunkan. Di sana pula berdomisilinya sebahagian besar sahabat Nabi, karena itu
penduduknya lebih banyak tahu tentang penjelasan dan amaliah Nabi.
Kedua, jarak antara generasi mereka yang mengamalkan
pendapat tersebut dengan generasi pertama umat Islam masih dekat, sehingga
besar kemungkinan bahwa apa yang mereka lakukan sebagaimana dilihat oleh Malik,
adalah mengikuti apa yang diamalkan generasi sebelumnya.
Ketiga, isyarat yang terkandung dalam ayat yang membicarakan salat malam Nabi yang
begitu lama, sampai lebih separoh malam sebagaimana terdapat dalam surat al-Muzzammil
ayat 1 sampai 4. Panjangnya waktu-waktu salat tersebut mengandung kemungkinan
banyak rakaatnya.
Yang menjadi permasalahan dalam pendapat ini hampir sama
dengan pendapat kedua di atas, yaitu tidak ditemukannya riwayat yang kuat
ditinjau dari sisi ilmu hadis, baik yang langsung dari Nabi, maupun para
sahabat. Meskipun penduduk Madinah mempunyai kelebihan dengan berdomisilinya Nabi
dan sejumlah besar sahabat bersama mereka, namun kehujahan amal mereka (ahli
Madinah) tidaklah disepakati oleh para ahli fikih dan usul fikih.
Dengan memperhatikan alasan ketiga kelompok pendapat di
atas dapat dilihat sisi-sisi kekuatan sekaligus
”kelemahan” masing-masing, paling tidak permasalahan pendapat masing-masing. Yang
jelas tidak ada ditemukan riwayat yang menyatakan batasan atau jumlah rakaat
salat tarawih yang langsung dari ucapan Nabi sendiri. Yang ada hanya perbuatan Nabi
yang terlihat oleh sebahagian sahabat.
Tidak ada yang membantah bahwa salat malam Nabi itu lama,
sehingga sampai bengkak kakinya yang dalam riwayat al-Bukhari disebut (حتى ترم قدماه او ساقاه ).[23]
Andaikan ada yang memilih tarawih yang jumlah rakaatnya paling sedikit, tapi
rakaatnya panjang-panjang, sehingga memakan waktu yang lama barangkali tidak
kalah nilainya dibanding dengan tarawih yang rakaatnya banyak tetapi cepat.
Demikian juga andaikata ada yang memilih yang rakaatnya paling
sedikit, tetapi ia lakukan secara terus menerus, baik di bulan Ramadan maupun
di bulan lain tentu akan lebih baik dibanding mereka yang rakaat tarawihnya banyak,
tetapi di luar Ramadan mereka tidak aktif lagi melakukan salat malam. Dalam
hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dinyatakan oleh ’Aisyah bahwa amal (salat
sunat) Nabi itu bersifat kontiniu, terus menerus (كان عمله ديمة ).[24]
Pernyataan ‘Aisyah ini adalah jawaban terhadap pertanyaan seseorang tentang
ibadah khusus Nabi pada hari-hari (bulan) tertentu dan tercantum dalam deretan hadis-hadis tentang
salat malam.
Tidak ada yang menyangkal bahwa salat tarawih itu hukumnya
sunat, bisa dilakukan sendiri-sendiri ataupun berjama’ah, sebagaimana yang
pernah dilakukan Nabi. Mereka yang melakukan salat tarawih walaupun sedikit
tentu lebih baik dari yang tidak pernah melakukannya, orang yang salat
tarawihnya sedikit dengan tetap memelihara salat lima waktu tentu lebih baik
dibanding mereka yang lalai mengerjakan salat wajib.
Dengan demikian masing-masing alasan di atas sama-sama
zanni alias relatif. Karena itu masing-masing penganut pendapat tersebut
tidaklah layak untuk saling menyalahkan.
III.
JUMLAH RAKAAT SETIAP SALAM
A.
Perbedaan Pendapat
Paling tidak ada dua pendapat yang populer dalam masalah
ini: Pertama, pendapat yang mengatakan dua rakaat satu salam. Kedua,
yang mengatakan empat rakaat. Berikut alasan
masing-masing:
Alasan pendapat pertama,
antara lain adalah hadis-hadis berikut:
صلاة الليل مثنى
مثنى, فاذا خشي اْحدكم الصبح صلى ركعة و احدة توتر له ما قد صلى.
Salat malam itu dua-dua. Maka apabila salah seorang
diantara kamu khawatir masuknya waktu subuh,ia salat satu rakaat sebagai witir
untuk salatyang telah ia kerjakan.(Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibn
“Umar RA).[25]
‘Abdullah ibn ‘Abbas RA. menuturkan bahwa ia pernah
mengikuti salat malam Nabi, ketika ia bermalam di rumah bibinya Maimunah,
salah seorang isteri Nabi. Setelah ia ditarik oleh
Rasulullah SAW. ke sebelah kanannya lalu Rasulullah salat sebagaimana kata Ibn
‘Abbas:
فصلى ركعتين ثم
ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم اْوتر ثم
اضطجع.......الحديث
Maka Rasulullah SAW. Salat dua rakaat,kemudian dua
rakaat,kemudian dua rakaat,kemudian dua rakaat,kemudian dua rakaat, kemudian
dua rakaat,kemudian witir,kemudian ia berbaring.(Hadis riwayat Muslim).[26]
Alasan pendapat kedua,antara lain adalah hadis berikut,
yaitu penjelasan ‘Aisyah ketika ditanya oleh Abu Salamah
tentang salat Rasulullah SAW. di bulan Ramadan:
ما كان رسول الله
صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على احدى عشرة ركعة يصلى اربعا فلا
تساْل عن حسنهن وطولهن ثم صلى اْربعا فلا تساْل عن حسنهن و طولهن ثم يصلى
ثلاثا......
Rasulullah SAW.
tidak pernah
melebihi (salat malam, pen) baik di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya dari 11
rakaat. Ia salat empat rakaat, jangan tanya bagaimana bagus dan panjangnya rakaatnya itu.
Kemudian ia salat lagi empat rakaat,
jangan tanya betapa
bagus dan panjangnya rakaatnya itu. Kemudian ia salat lagi tiga rakaat.(Hadis
riwayat al-Bukhari dan Muslim).[27]
B.
Analisa dan Kesimpulan
Alasan pendapat pertama yang mengatakan salat malam itu
dua-dua rakaat punya sandaran yang kuat, karena hadisnya termasuk dalam sahih
al-Bukhari dan Muslim, ada yang dalam bentuk sunnah qauliyah, ada pula yang
sunnah fi’liyah. Yang menjadi permasalahan di sini adalah,
apakah ketentuan ini berlaku untuk keseluruhan salat
malam,atau ada pengecualian?. Bila ketentuan ini dipandang berlaku untuk keseluruhan,
bagaimana dengan pelaksanaan salat malam Nabi yang
diriwayatkan ‘Aisyah RA. Sebagaimana yang dikutip di atas yang menyatakan Nabi salat malam empat
rakaat kemudian empat rakaat. Ada isyarat bahwa ketentuan ini tidak mutlak, yaitu
adanya teks hadis lain yang menyatakan salat malam dan siang itu dua-dua (صلاة الليل و النهار مثنى ).[28]
Padahal ada pula riwayat yang menyatakan bahwa salat siang itu empat-empat.[29]
Alasan pendapat kedua dari segi periwayatannya juga kuat,
karena diriwayatkan oleh perawi terkenal,
al-Bukhari dan Muslim. Disamping itu konteksnya jelas di
malam bulan Ramadan, sesuai dengan pertanyaan seseorang. Yang menjadi
permasalahan disini adalah maksud ungkapan يصلى اْربعا . Ungkapan ini mengandung dua kemungkinan:
Pertama, bisa berarti ia salat empat rakaat tetapi dengan dua
salam, bisa
pula empat rakaat satu salam. Menurut pengarang Subul al-Salam kemungkinan
kedua (satu salam) lebih dekat dari kemungkinan pertama. Yang jelas dalam
hal ini tidak terdapat ketegasan. Tidak ada istilah benar salah dalam memilih
di antara dua hal yang sama-sama zanni (relatif). Ungkapan yang lebih tepat adalah menurut kami
ini alasan yang lebih kuat.
SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH DI BULAN RAMADAN
[1] Lihat, al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarh Muttawa
Malik, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub
al-‘Arabiyyah, 1343H), juzu’1, hlm.137-138
[4] Al-Imam Abu al-Husain ibn al-Hajaj, Muslim (selanjutnya
disebut al-Imam Muslim), Sahih Muslim, (Mesir: ‘Isa al-Halabibwa
Auladuh, y.t), juzu’1, hlm. 276
[5] Al-Syaukani, Nail al-Autar, (Mesir: Mustafa
al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.t), juzu’3, hlm. 61. Menurut al-Syaukani, hadis
ini, di samping al-Bukhari juga diriwayatkan oleh perawi lainnya.
[6] Muhammad ibn Isma’il al-San’ani, Subul al-Salam, (Mesir:
Muhammad ‘Ali Sahib wa Auladuh, t.t), juzu’2, hlm.16
[7] Al-Imam Muslim, op. Cit, hlm.286
[9] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (t.tp: Dar
al-Fikr, t.t), juzu’1, hlm.152. lihat juga, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juzu’2, hlm.43, 56, 59, 72
[15] Lihat antara lain, Manna’ al-Qattan, al-Tasyiri’ wa
al-Fiqh fi al-Islam, (Bairut: Muassasat al-Risalah, 1985), hlm. 292, Jad
al-Haq ‘Ali Jad al-Haq, al-Fiqh al-Islami Nasy’atuh wa Tatawwuruh,
(Mesir: Ma’had al-Dirasat al-Islamiyyah, 1986), hlm.108
[19] Kalimat bersyarat ini penulis gunakan karena penulis
belum menemukan parawi terkenal
yang meriwayatkan perbuatan sahabat tersebut selain Malik. Dalam kitab
al-Muhassab misalnya, sebuah kitab fikih mazhab Syafi’i, ketika menyatakan
jumlah rakaat tarawih itu 20 rakaat tidak disebutkan dalil kenapa 20 rakaat.
Yang disebutkan hanya riwayat tentang tindakan’Umar yang menunjuk Ubai ibn
Ka’ab menjadi imam jemaah salat tarawih. Lihat, al-Fairuz abadi al-Syirazi, al-Muhazzab
fi Fiqh Mazhab al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), juzu’1, hlm. 117
[22] Hadis riwayat al-Razin dari ‘Umar ibn al-Khattab. Lihat,
ibn Daiba’ al-Syaibani, Taisir al-Wusul, (Mesir:Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Auladuh, t.t) juzu’3, hlm. 228
[25] Ibid, juzu’ 1, hlm.
136-137, al-Imam Muslim Muslim, op. cit., juzu’1, hlm. 280. Teks hadis
ini adalah menerut versi riwayat Muslim, sedangkan menurut al-Bukhari adalah
sebagai berikut:
[28] Hadis riwayat Ahmad, dan ibn Hibban dari Abi Hurairah RA.
Lihat al-San’ani, op. cit, juzu’2, hlm. 8