Jumat, 05 Desember 2014

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SALAT TARAWIH



PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SALAT TARAWIH
Oleh : Dr.Zulkarnaini, M. Ag
بسم الله الرحمن الرحيم
I.     PENDAHULUAN
Meskipun perberdaan pendapat sekitar pelaksanaan salat tarawih sudah muncul sejak berabad-abad yang silam, namun sampai sekarang hal itu masih menjadi permasalahan di kalangan umat Islam, terutama masyarakat awam. Permasalahan tersebut tidak jarang membawa kepada suasana kurang harmonisnya hubungan di antara sesama umat Islam itu sendiri. Suasana yang tidak menguntungkan tersebut timbul di saat masing-masing pihak yang berbeda pendapat menklaim bahwa hanya pendapat merekalah yang benar, sementara yang lain salah. Kalau satu pihak sudah memandang salah pihak yang lain, apalagi kalau pandangan itu sudah dinyatakan atau diungkapkan kepada mereka yang dipandang salah, tentu saja hal ini akan mengundang perselisihan, bahkan mungkin permusuhan. Yang sangat mengherankan adalah apabila masalah yang diperselisihkan itu hanyalah masalah-masalah yang bukan prinsipil, misalnya menyangkut ibadah-ibadah sunat, seperti pelaksanaan salat tarawih.
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut penulis ingin mengemukakan sebuah tulisan sebagai bahan diskusi sekitar silang pendapat mengenai pelaksanaan salat tarawih. Untuk tidak mengambangnya pembahasan ini, permasalahan di batasi sekitar jumlah rakaat tarawih dan jumlah rakaat dalam satu salam. Pertanyaan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana perbedaan pendapat tentang jumlah rakaat salat tarawih dan jumlah rakaat dalam satu salam serta dalilnya masing-masing. Sehubungan dengan berbagai keterbatasan dalam penulisan makalah ini, tentu saja di sana-sini akan ditemukan sisi-sisi kelemahan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, untuk memperluas wawasan, saran, masukan dan kritik sehat dari para pembaca sangat penulis harapkan
  II.     JUMLAH RAKAAT SALAT TARAWIH
A.    Perbedaan Pendapat dan Alasan Masing-Masing
Dalam literatur fikih terdapat sejumlah pendapat para fuqahaٓ tentang jumlah rakaat salat tarawih. Paling tidak ada lima pendapat dalam hal ini, yaitu: 11 rakaat bersama witir, 21 rakaat bersama witir, 23 rakaat bersama witir, 39 rakaat bersama witir, 41 rakaat bersama witir.
Pendapat pertama, 11 rakaat. Pendapat ini banyak diamalkan orang di Indonesia, paling tidak pada tiga dekade terakhir ini. Dalam kitab Muwattaٓ , Imam Malik meriwayatkan dari Muhammad ibn Yusuf dari al-Saib ibn Yazid, bahwa Umar ibn al-Khatab memerintahkan Ubay ibn Ka’ab dan Tamim al-Dar΄i agar mereka salat (tarawih) bersama orang banyak sebelas rakaat. Kata al-Saib ibn Yazid: “Imam (al-Qari) membaca surat-surat panjang yang ayatnya ratusan (al-Mi’in), sehingga kami berpegang kepada tongkat, karena lamanya berdiri dan kami belum berhenti sebelum terbit fajar”.[1]
Dalam syarah Muwatta’ dikatakan bahwa menurut al-Baji, keputusan yang diambil ‘Umar tersebut karena mengikuti salat Nabi. Lalu disebutkan hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ketika ditanya orang (Abu Salamah, pen.) tentang salat Nabi pada bulan Rhamadan. Kata ‘Aisyah:

ما كان يزيد في رمضان ولا في غيرها عن احدى عشرة ركعة….
Nabi tidak pernah melebihi, baik pada bulan Ramadhan maupun bulan lainnya, dari sebelas rakaat...[2]
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah RA. Dalam kitab Sahih al-Bukhari, hadis ini dicantumkan dalan Kitab Salat al-Tarawih,[3] sementara dalam kitab Sahih Muslim ditempatkan dalam Bab Salat al-Lail wa’Adad Raka’atiha.[4] Demikian juga dalam kitab-kitab hadis lainnya, misalnya dalam kitab Nail al-Autar dicantumkan pada Bab Salat Tarawih,[5] dan dalam kitab Subul al-Salam hadis ini dimuat di bawah judul “Waqt al-Witr min al-Lail Kullih”.[6]
Menurut riwayat Muslim, sahabat Nabi ‘Abdullah ibn ‘Abbas juga pernah mengikuti salat malam Nabi, yaitu ketika ia bermalam di rumah bibinya Maimunah, istri Nabi. Kata Ibn ‘Abbas, Nabi salat malam sebelas rakaat.[7]
Pendapat kedua, yaitu 21 rakaat. Menurut al-ASyaukani, pendapat ini diriwayatkan oleh Muhammad ibn Nasr dari Muhammad ibn Yusuf.[8] Tidak dijelaskan siapa sahabat yang meriwayatkannya dan ulama-ulama yang mengamalkannnya.
Pendapat ketiga, yaitu 23 rakaat. Pendapat ini hampir sama dengan yang sebelumnya, karena yang berbeda hanya pelaksanaan witirnya. Pendapat yang mengatakan salat tarawih 20 takaat dianut oleh Abu Hanifah, Malik dalam salah satu qaulnya, al-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal dan Daud al-Zahiri.[9]

Pendapat ini antara lain berdasarkan riwayat berikut:

عن يزيد بن رومان قال : كان الناس في زمن عمر بن الخطاب يقومون في رمضان بثلاث و عشرين ركعة
Dari Yazid ibn Ruman ia berkata: “ pada zaman ‘Umar ibn al-Khatab orang melakukan salat di bulan ramadhan dua puluh tiga rakaat”.
Keterangan (asar) ini antara lain diriwayatkan oleh Malik dalam kitab  Muttawa’nya.[10] Di samping itu menurut al-San’ani ada lagi riwayat lain oleh al-Baihaqi dari Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa ‘Umar menyuruh Ubay dan Tamim untuk salat bersama orang banyak dua puluh rakaat dan pada riwayat lain dua puluh tiga rakaat dan witir tiga rakaat.[11]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa salat tarawih 23 rakaat bersama witir tersebut adalah perbuatan sahabat di zaman ‘Umar RA. Menurut al-San’ani tidak ada hasis yang marfu’ (langsung dari Nabi atau perbuatan Nabi) yang menjadi dasar pendapat ini (20 rakaat) kecuali riwayat ‘Abd ibn Humaid dan Al-Tabrani dari jalur Abu Syaibah Ibrahim ibn ‘Usman dari al-Hakam dari Muqsim dari ibn ‘Abbas yang berbunyi :
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلى في رمضان عشرين ركعة و الوتر
Bahwasanya Rasulullah Saw. Pernah salat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan witir.
Akan tetapi menurut al-San’ani dalam sanad nya terdapat kelemahan, yaitu Abu Syaibah. Mengutib kitab Subul al-Rasyad ia mengatakan bahwa Abu Syaibah ini dilemahkan oleh Ahmad, ibn Ma’in, al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Turmizi, al-Nasai dan lain-lain.[12] Meskipun demikian, riwayat yang menyatakan bahwa di zaman ‘Umar salat 20 ini diamalkan orang banyak dan tidak ada yang membantahnya. Tradisi ini betrlanjut terus, sehingga diterima dan diamalkan pula oleh imam-imam mazhab besar.
Pendapat keempat, yaitu 39 rakaat. Pendapat ini dianut oleh Malik dalam salah satu Qaulnya. Menurut riwayat ibn al-Qasim Malik memandang baik salat tarawih 36 rakaat dan witir 3 rakaat.[13] Dalam riwayat lain dijumpai pernyataan Malik sebagai berikut: “yang kami amalkan adalah 39 rakaat sementara di Mekkah 23 rakaat (ayat).(الا ْمر عندنا بتسع و ثلاثين و بمكة بثلاث وعشرين)
Pendapat ini berdasarkan kepada amal ahli Madinah. Muhammad ibn Nasir meriwayatkan dari jalur Daud ibn Qais yang mengatakan : “Aku jumpai orang-orang pada masa pemerintahan Aban ibn Qais dan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azis, yakni di Madinah, mereka shalat tarawih 36 rakaat dan salat witir 3 rakaat.[14] Sebagaimana diketahui bahwa dasar fiqih Imam Malik setelah al-Qur΄an dan sunnah adalah amal ahli Madinah. Apabila tidak ditemukan ketegasan dalam al-Quran dan sunnah Malik cenderung mengikuti amal ahli Madinah, malah ia lebih mendahulukannya dari khabar al-Wahid (hadis Ahad). Alasannya antara lain adalah karena Madinah itu tempat hijrah Nabi, di sana umumnya ayat-ayat hukum turun, disana pula para sahabat berdomisili. Penduduknya lebih mengetahui tentang turunnya wahyu serta penjelasan yang diberikan Nabi. Ini merupakan keistimewaan penduduk Madinah dari yang lain. Oleh sebab itu menurutnya amal mereka bisa dijadikan hujah.[15]
Pendapat kelima, yaitu 41 rakaat. Kelihatanya jumlah di atas 40 rakaat ini menurut riwayat yang ada cukup bervariasi. Ada yang mengatakan sampai 46 rakaat ditambah witir 3 rakaat. Ibn ‘Abd al-Barr meriwayatkan dari al-Aswat ibn Yazid bahwa jumlahnya 40 rakaat ditambah 7 rakaat witir. Pendapat ini juga dinisbahkan kepada Malik. Dalam riwayat ini malik menyatakan bahwa ia menemukan pendapat ini diamalkan orang sejak lebih seratus tahun.[16] Kalau pernyataan ini benar, berarti sejak dari masa sahabat pendapat ini sedah diamalkan orang. Hal ini karena Imam Malik ibn Anas hidup antara tahun 93H sampai tahun 179H. Jadi jarak antara generasi sahabat dengan kehidupan Imam Malik adalah sekitar 100 tahun. Dari sini dapat dipahami bahwa pendapat terakhir ini didasarkan kepada amal generasi sebelumnya yang masih lekat dengan masa Nabi. Bila pendapat ini dinisbahkan kepada Malik berarti pendapat ini diamalkan oleh ahli Madinah.

B.     Analisa dan Kesimpulan
Alasan atau dalil yang mendasari masing-masing pendapat diatas dapat dibagi kedalam tiga kelompok. Pertama, yang merujuk langsung kepada sunnah Nabi, yaitu pendapat yang menyatakan salat tarawih itu sebelas rakaat bersama witir. Kedua, yang beralasan dengan amal sahabat, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa salat tarawih itu 21 rakaat dan yang menyatakan 23 rakaat bersama witir. Ketiga, pendapat yang berpedoman kepada amal ahli Madinah, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa salat tarawih dan witir itu berjumlah 39 rakaat, 41 rakaat atau lebih. Masing-masing alasan tersebut akan dianalisa satu persatu:
1.      Alasan kelompok pertama
Pendapat ini mempunyai landasan yang kuat dipandang dari beberapa segi : pertama, alasannya langsung merujuk kepada sunnah Nabi. Artinya pendapat ini bisa dipertanggung jawabkan, karena memang ada contoh dari Nabi dan secara jelas dinyatakan menyangkut salat malam di bulan Ramadhan. Mengikuti contoh yang dilakukan Nabi merupakan bukti cinta yang benar kepada Allah sebagaimana yang dituntun dalam al-Quran surat Ali-Imran ayat 31. Kedua, menurut ilmu hadis riwayat yang digunakan kelompok ini lebih kuat dari kelompok lain, karena diriwayatkan oleh perawi hadis yang sudah disepakati kesahihannya, yaitu al-Bukhari dan Muslim.
Yang menjadi permasalahan dalam alasan ini antara lain adalah:
Pertama, apakah pernyataan ‘Aisyah dan Ibn ‘Abbas tentang jumlah shalat malam Nabi tersebut bersifat mutlak atau hanya yang sempat diketahui atau disaksikannya saja. Mungkinkah pernyataan itu berarti bahwa sepengatuhuan atau sepanjang yang dilihat oleh kedua sahabat Nabi ini salat malam Nabi baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lain tidak lebih dari 11 rakaat ? timbulnya pertanyaan ini, karena menurut beberapa riwayat, ternyata ‘Aisyah sendiri tidak selalu mengikuti shalat malam Nabi, meskipun Nabi bermalam di rumah (kamar) ‘Aisyah sendiri sementara ‘Aisyah sendiri tidak berhalangan untuk salat. ‘Aisyah sendiri dalam beberapa riwayat oleh Muslim menyatakan bahwa Rasulullah Saw salat malam (di kamarnya). Apabila beliau hendak mengerjakan shalat witir barulah ‘Aisyah dibangunkan.
عن عائشة قالت : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي من الليل, فاذا اوتر قال : قومي فاْ وتري يا عائشة !
Dari ‘Aisyah RA. ia berkata: “Pernah Rasulullah Saw. Shalat malam (di rumahnya). Maka apabila ia hendak mengerjakan witir ia berkata : “bangunlah untuk shalat witir wahai ‘Aisyah”.[17]
Dalam riwayat lain ‘Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. salat malam, sedangkan ia berbaring berbelintang di hadapan rasul. Apabila yang belum dikerjakan tinggal witir saja barulah, ‘Aisyah dibangunkan.[18]
Kedua, kalau memang Nabi tidak pernah melebihi salat malamnya dari sebelas rakaat, kenapa imam-imam mazhab besar yang diantaranya juga ahli hadis tidak mengamalkannya? Apakah hadis pernyataan ‘Aisyah dan ibn ‘Abbas tersebut luput dari pengetahuan para imam mazhab?

2.      Alasan kelompok kedua
Pendapat ini berdasarkan kepada amal sahabat, yaitu dimasa Umar RA. apabila memang amal tersebut dilakukan oleh para sahabat,[19] maka kekuatan pendapat ini dapat dilihat dari beberapa segi.
Pertama amal sahabat tersebut mempunyai dasar syariat yang bisa meraka pertanggung jawabkan. Apabila keadilan para sahabat itu diakui, maka sulit diterima kemungkinan mereka bersepakat untuk berbuat yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Dengan asumsi demukian paling tidak ada dua kemungkinan sebagai dasar dari apa yang mereka lakukan. Kemungkinan pertama amal itu berdasarkan contoh dari Nabi. Artinya kemungkinan pernah sahabat melihat Nabi melakukan amal tersebut, sementara Nabi sendiri tidak menetapkan batas jumlahnya secara rutin untuk setiap malam. Kemungkinan kedua, para sahabat yang melakukannya melihat ada peluang untuk memilih jumlah rakaat tersebut, karena tidak adanya batasan yang ditetapkan lewat sabda Nabi. Yang ada hanya batasan yang dilihati oleh sahabat tertentu antara lain ‘Aisyah dan ibn ‘Abbas RA.
Kedua adanya sejumlah hadis yang berisi suruhan untuk mengikuti sunnah para sahabat Nabi. Misalnya hadis riwayat al-Turmizi berikut:
اقتدوا بالذين من بعدي اْبى بكر و عمر
Ikutilah dua orang yang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar[20]
Demikian juga misalnya, hadis yang diriwayatkan Ahmad, ibn Majah, al-Turmizi, al-Hakim sebagai berikut:
عليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين بعدي تمسكوا بها و عضوا عليها بالنواجذ
Ikutilah sunnah ku dan sunnah al-khulafa’ al-Rasyidin sesudahku. Berpegang teguhlah padanya dan tetaplah menjalankannya![21]
Adalagi hadis yang menyuruh mengikuti sahabat Nabi secara umum sebagai berikut:
اصحابي كالنجوم باْيهم اقتديتم اهتديتم
Para sahabatku laksana bintang-bintang yang mana saja kamu ikuti niscaya kamu dapat petunjuk.[22]
Ketiga, pendapat ini dianut oleh mayoritas imam-imam mazhab besar. Sebahagian diantara imam-imam mazhab tersebut adalah juga ahli hadis.
Yang menjadi permasalahan dalam pendapat kedua ini antara lain adalah : pertama, tidak ditemukannya dalil yang kuat yang langsung disandarkan kepada Nabi, padahal diantara imam-imam mazhab yang mengamalkan pendapat ini termasuk perawi hadis. Kedua, riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat di zaman Umar melakukan hal itu tidak diriwayatkan oleh para perawi yang terkenal, seperti al-Bukhari dan Muslim. Kalau memang sebahagian besar sahabat melakukannya, kenapa tidak populer dalam kitab-kitab hadis sahih?
3.      Alasan kelompok ketiga
Pendapat ini berpedoman kepada amal ahli Madinah. Kekuatan pendapat ini terletak pada beberapa hal: Pertama,daerah ini merupaka tempat tinggal Nabi setelah hijrah. Disana pada umumnya ayat-ayat hukum diturunkan. Di sana pula berdomisilinya sebahagian besar sahabat Nabi, karena itu penduduknya lebih banyak tahu tentang penjelasan dan amaliah Nabi. Kedua, jarak antara generasi mereka yang mengamalkan pendapat tersebut dengan generasi pertama umat Islam masih dekat, sehingga besar kemungkinan bahwa apa yang mereka lakukan sebagaimana dilihat oleh Malik, adalah mengikuti apa yang diamalkan generasi sebelumnya. Ketiga, isyarat yang terkandung dalam ayat yang membicarakan salat malam Nabi yang begitu lama, sampai lebih separoh malam sebagaimana terdapat dalam surat al-Muzzammil ayat 1 sampai 4. Panjangnya waktu-waktu salat tersebut mengandung kemungkinan banyak rakaatnya.
Yang menjadi permasalahan dalam pendapat ini hampir sama dengan pendapat kedua di atas, yaitu tidak ditemukannya riwayat yang kuat ditinjau dari sisi ilmu hadis, baik yang langsung dari Nabi, maupun para sahabat. Meskipun penduduk Madinah mempunyai kelebihan dengan berdomisilinya Nabi dan sejumlah besar sahabat bersama mereka, namun kehujahan amal mereka (ahli Madinah) tidaklah disepakati oleh para ahli fikih dan usul fikih.
Dengan memperhatikan alasan ketiga kelompok pendapat di atas dapat dilihat sisi-sisi kekuatan sekaligus ”kelemahan” masing-masing, paling tidak permasalahan pendapat masing-masing. Yang jelas tidak ada ditemukan riwayat yang menyatakan batasan atau jumlah rakaat salat tarawih yang langsung dari ucapan Nabi sendiri. Yang ada hanya perbuatan Nabi yang terlihat oleh sebahagian sahabat.
Tidak ada yang membantah bahwa salat malam Nabi itu lama, sehingga sampai bengkak kakinya yang dalam riwayat al-Bukhari disebut (حتى ترم قدماه او ساقاه ).[23] Andaikan ada yang memilih tarawih yang jumlah rakaatnya paling sedikit, tapi rakaatnya panjang-panjang, sehingga memakan waktu yang lama barangkali tidak kalah nilainya dibanding dengan tarawih yang rakaatnya banyak tetapi cepat.
Demikian juga andaikata ada yang memilih yang rakaatnya paling sedikit, tetapi ia lakukan secara terus menerus, baik di bulan Ramadan maupun di bulan lain tentu akan lebih baik dibanding mereka yang rakaat tarawihnya banyak, tetapi di luar Ramadan mereka tidak aktif lagi melakukan salat malam. Dalam hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dinyatakan oleh ’Aisyah bahwa amal (salat sunat) Nabi itu bersifat kontiniu, terus menerus (كان عمله ديمة ).[24] Pernyataan ‘Aisyah ini adalah jawaban terhadap pertanyaan seseorang tentang ibadah khusus Nabi pada hari-hari (bulan) tertentu dan tercantum dalam deretan hadis-hadis tentang salat malam.
Tidak ada yang menyangkal bahwa salat tarawih itu hukumnya sunat, bisa dilakukan sendiri-sendiri ataupun berjama’ah, sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi. Mereka yang melakukan salat tarawih walaupun sedikit tentu lebih baik dari yang tidak pernah melakukannya, orang yang salat tarawihnya sedikit dengan tetap memelihara salat lima waktu tentu lebih baik dibanding mereka yang lalai mengerjakan salat wajib.
Dengan demikian masing-masing alasan di atas sama-sama zanni alias relatif. Karena itu masing-masing penganut pendapat tersebut tidaklah layak untuk saling menyalahkan.

III.     JUMLAH RAKAAT SETIAP SALAM
A.    Perbedaan Pendapat
Paling tidak ada dua pendapat yang populer dalam masalah ini: Pertama, pendapat yang mengatakan dua rakaat satu salam. Kedua, yang mengatakan empat rakaat. Berikut alasan masing-masing:
Alasan pendapat pertama, antara lain adalah hadis-hadis berikut:
صلاة الليل مثنى مثنى, فاذا خشي اْحدكم الصبح صلى ركعة و احدة توتر له ما قد صلى.
Salat malam itu dua-dua. Maka apabila salah seorang diantara kamu khawatir masuknya waktu subuh,ia salat satu rakaat sebagai witir untuk salatyang telah ia kerjakan.(Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibn “Umar RA).[25]
‘Abdullah ibn ‘Abbas RA. menuturkan bahwa ia pernah mengikuti salat malam Nabi, ketika ia bermalam di rumah bibinya Maimunah, salah seorang isteri Nabi. Setelah ia ditarik oleh Rasulullah SAW. ke sebelah kanannya lalu Rasulullah salat sebagaimana kata Ibn ‘Abbas:
فصلى ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم ركعتين ثم اْوتر ثم اضطجع.......الحديث 
Maka Rasulullah SAW. Salat dua rakaat,kemudian dua rakaat,kemudian dua rakaat,kemudian dua rakaat,kemudian dua rakaat, kemudian dua rakaat,kemudian witir,kemudian ia berbaring.(Hadis riwayat Muslim).[26]
Alasan pendapat kedua,antara lain adalah hadis berikut, yaitu penjelasan ‘Aisyah ketika ditanya oleh Abu Salamah tentang salat Rasulullah SAW. di bulan Ramadan:
ما كان رسول الله صلى الله عليه و سلم يزيد في رمضان ولا في غيره على احدى عشرة ركعة يصلى اربعا فلا تساْل عن حسنهن وطولهن ثم صلى اْربعا فلا تساْل عن حسنهن و طولهن ثم يصلى ثلاثا......

Rasulullah SAW. tidak pernah melebihi (salat malam, pen) baik di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya dari 11 rakaat. Ia salat empat rakaat, jangan tanya bagaimana bagus dan panjangnya rakaatnya itu. Kemudian ia salat lagi empat rakaat, jangan tanya betapa bagus dan panjangnya rakaatnya itu. Kemudian ia salat lagi tiga rakaat.(Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim).[27] 

B.     Analisa dan Kesimpulan
Alasan pendapat pertama yang mengatakan salat malam itu dua-dua rakaat punya sandaran yang kuat, karena hadisnya termasuk dalam sahih al-Bukhari dan Muslim, ada yang dalam bentuk sunnah qauliyah, ada pula yang sunnah fi’liyah. Yang menjadi permasalahan di sini adalah, apakah ketentuan ini berlaku untuk keseluruhan salat malam,atau ada pengecualian?. Bila ketentuan ini dipandang berlaku untuk keseluruhan, bagaimana dengan pelaksanaan salat malam Nabi yang diriwayatkan ‘Aisyah RA. Sebagaimana yang dikutip di  atas yang menyatakan Nabi salat malam empat rakaat kemudian empat rakaat. Ada isyarat bahwa ketentuan ini tidak mutlak, yaitu adanya teks hadis lain yang menyatakan salat malam dan siang itu dua-dua (صلاة الليل و النهار مثنى ).[28] Padahal ada pula riwayat yang menyatakan bahwa salat siang itu empat-empat.[29]
Alasan pendapat kedua dari segi periwayatannya juga kuat, karena diriwayatkan oleh perawi terkenal, al-Bukhari dan Muslim. Disamping itu konteksnya jelas di malam bulan Ramadan, sesuai dengan pertanyaan seseorang. Yang menjadi permasalahan disini adalah maksud ungkapan  يصلى اْربعا . Ungkapan ini mengandung dua kemungkinan: Pertama, bisa berarti ia salat empat rakaat tetapi dengan dua salam, bisa pula empat rakaat satu salam. Menurut pengarang Subul al-Salam kemungkinan kedua (satu salam) lebih dekat dari kemungkinan pertama. Yang jelas dalam hal ini tidak terdapat ketegasan. Tidak ada istilah benar salah dalam memilih di antara dua hal yang sama-sama zanni (relatif). Ungkapan yang lebih tepat adalah menurut kami ini alasan yang lebih kuat.

SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH DI BULAN RAMADAN


[1] Lihat, al-Suyuti, Tanwir al-Hawalik Syarh Muttawa Malik, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1343H), juzu’1, hlm.137-138
[2] Ibid, hlm. 138
[3] Al-Imam al-Bukhari, Sahih al-Bukhari , (Mesir: Matba’t Usmaniyyah, 1932), juzu’1, hlm.234
[4] Al-Imam Abu al-Husain ibn al-Hajaj, Muslim (selanjutnya disebut al-Imam Muslim), Sahih Muslim, (Mesir: ‘Isa al-Halabibwa Auladuh, y.t), juzu’1, hlm. 276
[5] Al-Syaukani, Nail al-Autar, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.t), juzu’3, hlm. 61. Menurut al-Syaukani, hadis ini, di samping al-Bukhari juga diriwayatkan oleh perawi lainnya.
[6] Muhammad ibn Isma’il al-San’ani, Subul al-Salam, (Mesir: Muhammad ‘Ali Sahib wa Auladuh, t.t), juzu’2, hlm.16
[7] Al-Imam Muslim, op. Cit,  hlm.286
[8] Al-Syaukani, Loc. Cit.
[9] Ibn Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, (t.tp: Dar al-Fikr, t.t), juzu’1, hlm.152. lihat juga, Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), juzu’2, hlm.43, 56, 59, 72
[10] Al-Suyuti, op. cit, hlm.138
[11] Al-San’ani, op.cit, hlm. 12-13. Lihat Wahbah al-Zuhaili
[12] Ibid, hlm. 12
[13] Ibn Rusyd, loc. cit.
[14] Al-Syaukani, op. cit, juzu’3, hlm. 61
[15] Lihat antara lain, Manna’ al-Qattan, al-Tasyiri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, (Bairut: Muassasat al-Risalah, 1985), hlm. 292, Jad al-Haq ‘Ali Jad al-Haq, al-Fiqh al-Islami Nasy’atuh wa Tatawwuruh, (Mesir: Ma’had al-Dirasat al-Islamiyyah, 1986), hlm.108
[16] Al-Syaukani, loc, cit.
[17] Al-Imam Muslim, op. cit., juzu’1, hlm. 277
[18] Ibid
[19] Kalimat bersyarat ini penulis gunakan karena penulis belum menemukan parawi terkenal yang meriwayatkan perbuatan sahabat tersebut selain Malik. Dalam kitab al-Muhassab misalnya, sebuah kitab fikih mazhab Syafi’i, ketika menyatakan jumlah rakaat tarawih itu 20 rakaat tidak disebutkan dalil kenapa 20 rakaat. Yang disebutkan hanya riwayat tentang tindakan’Umar yang menunjuk Ubai ibn Ka’ab menjadi imam jemaah salat tarawih. Lihat, al-Fairuz abadi al-Syirazi, al-Muhazzab fi Fiqh Mazhab al-Syafi’i, (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), juzu’1, hlm. 117
[20] Al-San’ani, op. cit., juzu’1, hlm. 13
[21] Ibid
[22] Hadis riwayat al-Razin dari ‘Umar ibn al-Khattab. Lihat, ibn Daiba’ al-Syaibani, Taisir al-Wusul, (Mesir:Mustafa al-Babi al-Halabi wa Auladuh, t.t) juzu’3, hlm. 228
[23] Al-Bukhari, op. cit., juzu’1, hal.136
[24] Ibid, juzu’1, hlm. 233, al-Imam Muslim, op.cit., juzu’1, hlm. 293
[25] Ibid, juzu’ 1, hlm. 136-137, al-Imam Muslim Muslim, op. cit., juzu’1, hlm. 280. Teks hadis ini adalah menerut versi riwayat Muslim, sedangkan menurut al-Bukhari adalah sebagai berikut: 
[26] Al-Imam Muslim, op. cit., juzu’1, hal. 285
[27] Al-Bukhari, op. cit., juzu’1 hlm. 234, al-Imam Muslim, op. cit, juzu’1 hlm. 276
[28] Hadis riwayat Ahmad, dan ibn Hibban dari Abi Hurairah RA. Lihat al-San’ani, op. cit, juzu’2, hlm. 8
[29] Ibid. Hadis riwayat Yahya ibn Ma’in